Dakwah Rasulullah Periode Mekah

                  A. Dakwah Awal Masa Kenabian

Menurut beberapa riwayat yang sahih, Nabi Muhammad saw. pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Rama«an saat usianya 40 tahun. Malaikat Jibril datang untuk membacakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu Q.S al-‘Alaq. Nabi Muhammad saw. diperintahkan membacanya, namun Rasulullah saw. berkata bahwa ia tidak dapat membaca. Malaikat Jibril mengulangi permintaannya, tetapi jawabannya tetap sama. Kemudian, Jibril menyampaikan firman Allah Swt. yaitu Q.S. al-‘Alaq/96:1-5 sebagai berikut.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya :
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

a.       Ajaran Pokok Rasulullah saw. Di Mekah
1)      Aqidah
2)      Akhlak Mulia

b.      Strategi Dakwah Rasulullah di Mekah
1)      Dakwah Secara Rahasia
Agar tidak menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan masyarakat Quraisy, Rasulullah saw. memulai dakwahnya secara sembunyi­sembunyi (al-Da’wah bi al-Sirr). Hal tersebut dilakukan mengingat kerasnya watak suku Quraisy dan keteguhan mereka berpegang pada keyakinan dan penyembahan berhala. Pada tahap
ini, Rasulullah saw. memfokuskan dakwah Islam hanya kepada orang­
orang terdekat, yaitu keluarga dan para sahabatnya. Rumah Rasulullah
saw (Darul Arqam) dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah. Di
tempat itulah, ia menyampaikan risalah­risalah tauḥiḍ dan ajaran Islam
lainnya yang diwahyukan Allah Swt. kepadanya. Rasulullah saw. secara
langsung menyampaikan dan memberikan penjelasan tentang ajaran
Islam dan mengajak pengikutnya untuk meninggalkan agama nenek
moyang mereka, yaitu dari menyembah berhala menuju penyembahan
kepada Allah Swt. Karena sifat dan pribadinya yang sangat terpercaya
dan terjaga dari hal­hal tercela, tanpa ragu para pengikutnya, baik dari
kalangan keluarga maupun para sahabat menyatakan ketauhidan dan
keislaman mereka di hadapan Rasulullah saw.
Orang­orang pertama (as-sabiqunal awwalun) yang mengakui
kerasulan Nabi Muhammad saw. dan menyatakan keislamannya
adalah Siti Khadijah (istri), Ali bin Abi Thalib (adik sepupu), Zaid bin
Harișah (pembantu yang diangkat menjadi anak), dan Abu Bakar Siddik
(sahabat). Selanjutnya secara perlahan tetapi pasti, pengikut Rasulullah
saw. makin bertambah. Di antara mereka adalah U¡man bin Affan,
Zubair bin Awwam, Said bin Abi Waqas, Abdurrahman bin ‘Auf, Ṭaha
bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Fatimah bin Khattab dan
suaminya Said bin Zaid al­Adawi, Arqam bin Abil Arqam, dan beberapa
orang lainnya yang berasal dari suku Quraisy.

2)      Dakwah secara Terang-terangan
Dakwah secara terang­terangan (al-Da’wah bi al-Jahr) dimulai
ketika Rasulullah saw. menyeru kepada orang-orang Mekah. Ia berdiri
di atas sebuah bukit dan berteriak dengan suara lantang memanggil
mereka. Beberapa keluarga Quraisy menyambut  seruannya. Kemudian,
ia berpaling kepada sekumpulan orang sambil berkata, “Wahai orang­orang! Akankah kalian percaya jika saya katakan bahwa musuh
Anda sekalian telah bersiaga di sebelah bukit (Safa) ini dan berniat
menyerang nyawa dan harta kalian?” Mereka menjawab, “Kami tak
mendengar Anda berbohong sepanjang hayat kami.” Ia lalu berkata,
“Wahai bangsa Quraisy! Selamatkanlah dirimu dari neraka. Saya tak
dapat menolong Anda di hadapan Allah Swt. Saya peringatkan Anda
sekalian akan siksaan yang pedih!” Ia menambahkan, “Kedudukan saya
seperti penjaga, yang mengamati musuh dari jauh dan segera berlari
kepada kaumnya untuk menyelamatkan dan memperingatkan mereka
tentang bahaya yang akan datang.”


c.       Reaksi Kafir Quraisy terhadap Dakwah Rasulullah saw.
Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, kaum
kafir Quraisy terus berupaya menggalang kekuatan agar Rasulullah saw. dan
upayanya dalam penyebaran ajaran Islam dapat dihentikan. Berbagai upaya
mereka lakukan, mulai mengajak berdialog dengan mengiming­imingi berbagai
bantuan hingga kekerasan yang dilakukan terhadap Rasulullah saw. dan para
sahabat serta pengikut ajarannya. Puncak dari kejengkelan mereka dengan
cara memboikot Rasulullah saw. dan para sahabatnya serta pengikutnya dari
boikot ekonomi dan politik.

                                                                   

 B. Perjanjian Aqabah

Kerasnya penolakan dan perlawanan Quraisy, mendorong Nabi Muhammad
saw. melancarkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah Arab di luar suku Quraisy.
Dalam melakukan dakwah ini, Nabi Muhammad saw. tidak saja menemui
mereka di Ka’bah pada saat musim haji, ia juga mendatangi perkampungan
dan tempat tinggal para kepala suku. Tanpa diketahui oleh seorang pun, Nabi
Muhammad saw. pergi ke Taif. Di sana ia menemui Taqif dengan harapan
agar ia dan masyarakatnya mau menerimanya dan memeluk Islam. Taqif dan
masyarakatnya menolak Nabi dengan kejam. Meski demikian, Nabi berlapang
dada dan meminta Taqif untuk tidak menceritakan kedatangannya ke Taif agar
ia tidak mendapat malu dari orang Quraisy. Permintaan itu tidak dihiraukan
oleh Taqif, bahkan ia menghasut masyarakatnya untuk mengejek, menyoraki,
mengusir, dan melempari Nabi. Selain itu, Nabi mendatangi Bani Kindah, Bani
Kalb, Bani Hanifah, dan Bani Amir bin Sa‘sa’ah ke rumah­rumah mereka. Tak
seorang pun dari mereka yang mau menyambut dan mendengar dakwah
Nabi. Bahkan, Bani Hanifah menolak dengan cara yang sangat buruk. Amir
menunjukkan ambisinya, ia mau menerima ajakan Nabi dengan syarat jika
Nabi memperoleh kemenangan, kekuasaan harus berada di tangannya.
Pengalaman tersebut mendorong Nabi Muhammad saw. berkesimpulan
bahwa tidak mungkin lagi mendapat dukungan dari Quraisy dan kabilahkabilah
Arab lainnya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. mengalihkan  dakwahnya kepada kabilah-kabilah lain yang ada di sekitar Mekah yang datang berziarah setiap
tahun ke Mekah. Jika musim ziarah tiba, Nabi Muhammad
saw. pun mendatangi kabilah-kabilah itu dan mengajak mereka untuk
memeluk Islam. Tak berapa lama kemudian, tanda­tanda kemenangan datang
dari Yașrib (Madinah). Nabi Muhammad saw. sesungguhnya mempunyai
hubungan emosional dengan Ya¡rib. Di sanalah ayahnya dimakamkan, di
sana pula terdapat famili­familinya dari Bani Najjar yang merupakan keluarga
kakeknya, Abdul Muthalib dari pihak ibu. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila di tempat ini kelak Nabi Muhammad saw. mendapat kemenangan dan
Islam berkembang dengan amat pesat.
Ya¡rib merupakan kota yang dihuni oleh orang Yahudi dan Arab dari suku Aus
dan Khazraj. Kedua suku ini selalu berperang merebut kekuasaan. Hubungan
Aus dan Khazraj dengan Yahudi membuat mereka memiliki pengetahuantentang agama samawi. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kedua
suku Arab tersebut lebih mudah menerima kehadiran Nabi Muhammad saw.
Ketika Yahudi mengalami kekalahan, suku Aus dan Khazraj menjadi penguasadi Yașrib. Yahudi tidak tinggal diam, mereka berusaha mengadu domba Aus
dan Khazraj yang akhirnya menimbulkan perang saudara yang dimenangkan
oleh Aus. Sejak saat itu, orang­orang Yahudi yang sebelumnya terusir dapat
kembali tinggal di Ya¡rib. Aus dan Khazraj menyadari derita dan kerugian yang
mereka alami akibat permusuhan mereka. Oleh karena itu, mereka sepakat
mengangkat Abdullah bin Muhammad dari suku Khazraj sebagai pemimpin.
Namun, hal itu tidak terlaksana. Hal ini disebabkan beberapa orang Khazraj
pergi ke Mekah pada musim ziarah (haji).
Kedatangan orang­orang Khazraj ke Mekah diketahui oleh Nabi Muhammad
saw., dan ia pun segera menemui mereka. Setelah Nabi berbicara dan mengajak
mereka untuk memeluk agama Islam, mereka pun saling berpandangan dan
salah seorang dari mereka berkata,“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan
oleh orang­orang Yahudi kepada kita, dan jangan sampai mereka (Yahudi)
mendahului kita.” Setelah itu, mereka kembali ke Yașrib dan menyampaikan
berita kenabian Muhammad saw. Mereka menyatakan kepada masyarakatnya
bahwa mereka telah menganut Islam. Berita dan pernyataan yang mereka
sampaikan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Pada musim
ziarah tahun berikutnya, datanglah 12 orang penduduk Yașrib menemui Nabi
Muhammad saw. di Aqabah. Di tempat ini mereka berikrar kepada Nabi yang
kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqabah I. Pada Perjanjian Aqabah I ini,
orang­orang Yașrib berjanji kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Tuhan,
tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat
dan memfitnah, baik di depan atau di belakang, jangan menolak berbuat
kebaikan. Siapa mematuhi semua itu akan mendapat pahala surga dan kalau
ada yang melanggar, persoalannya kembali kepada Allah Swt.
Selanjutnya, Nabi menugaskan Mus’ab bin Umair untuk membacakan alQur’an,
mengajarkan Islam serta seluk­beluk agama Islam kepada penduduk
Yașrib. Sejak itu, Mus’ab tinggal di Yașrib. Jika musim ziarah tiba, ia berangkat
ke Mekah dan menemui Nabi Muhammad saw. Dalam pertemuan itu, Mus’ab
menceritakan perkembangan masyarakat muslim Yașrib yang tangguh dan
kuat. Berita ini sungguh menggembirakan Nabi dan menimbulkan keinginan
dalam hati Nabi untuk hijrah ke sana. Pada tahun 622 M, peziarah Ya¡rib yang datang ke Mekah berjumlah 75
orang, dua orang di antaranya perempuan. Kesempatan ini digunakan Nabi
melakukan pertemuan rahasia dengan para pemimpin mereka. Pertemuan
Nabi dengan para pemimpin Yașrib yang berziarah ke Mekah disepakati di
Aqabah pada tengah malam pada hari­hari Tasyriq (tidak sama dengan hari
Tasyriq yang sekarang). Malam itu, Nabi Muhammad saw. ditemani oleh
pamannya, Abbas bin Abdul Muṭṭalib (yang masih memeluk agama nenek
moyangnya) menemui orang­orang Yașrib. Pertemuan malam itu kemudian
dikenal dalam sejarah sebagai Perjanjian Aqabah II. Pada malam itu, mereka
berikrar kepada Nabi sebagai berikut, “Kami berikrar, bahwa kami sudah
mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan di jalan
Allah Swt. ini kami tidak gentar terhadap ejekan dan celaan siapapun.”
Setelah masyarakat Yașrib menyatakan ikrar mereka, Nabi berkata kepada
mereka, “Pilihkan buat saya dua belas orang pemimpin dari kalangan kalian
yang menjadi penanggung jawab masyarakatnya”. Mereka memilih sembilan
orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kepada dua belas orang itu, Nabi
mengatakan, “Kalian adalah penanggung jawab masyarakat kalian seperti
pertangungjawaban pengikut­pengikut Isa bin Maryam. Terhadap masyarakat
saya, sayalah yang bertanggung jawab. ”Setelah ikrar selesai, tiba-tiba
terdengar teriakan yang ditujukan kepada kaum Quraisy, “Muhammad dan
orang­orang murtad itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”. Semua
kaget dan terdiam. Tiba-tiba Abbas bin Ubadah, salah seorang peserta ikrar,
berkata kepada Nabi, “Demi Allah Swt. yang mengutus Anda berdasarkan
kebenaran, jika Nabi mengizinkan, besok penduduk Mina akan kami ‘habisi’
dengan pedang kami.” Lalu, Nabi Muhammad saw. menjawab, “Kita tidak
diperintahkan untuk itu, kembalilah ke kemah kalian!” Keesokan harinya,
mereka bangun pagi­pagi sekali dan segera bergegas pulang ke Yașrib.


  
    C. Hijrah Kaum Muslimin

1.      Hijrah ke Habasyah

Untuk menghindari bahaya penyiksaan, Nabi Muhammad saw.
menyarankan para pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia (Habsyi). Para
sahabat pergi ke Abisinia dengan dua kali hijrah. Hijrah pertama sebanyak
15 orang; sebelas orang laki­laki dan empat orang perempuan. Mereka
berangkat secara sembunyi­sembunyi dan sesampainya di sana, mereka
mendapatkan perlindungan yang baik dari Najasyi (sebutan untuk Raja
Abisinia). Ketika mendengar keadaan Mekah telah aman, mereka pun
kembali lagi. Namun, mereka kembali mendapatkan siksaan melebihi dari
sebelumnya. Karena itu, mereka kembali hijrah untuk yang kedua kalinya
ke Abisinia (tahun kelima dari kenabian atau tahun 615 M). Kali ini mereka
berangkat sebanyak 80 orang  laki-laki, dipimpin oleh Ja’far bin Abi Talib.
Mereka tinggal di sana hingga sesudah Nabi hijrah ke Yașrib (Madinah).
Peristiwa hijrah ke Abisinia ini dipandang sebagai hijrah pertama dalam
Islam.
Peristiwa hijrah ke Abisinia ini sungguh tidak menyenangkan kaum
Quraisy dan menimbulkan kekhawatiran yang sangat besar. Ada dua hal
yang dikhawatirkan oleh kaum Quraisy, yaitu pertama, kaum muslimin
akan dapat menjalin hubungan yang luas dengan masyarakat Arab kedua,
kaum muslimin akan menjadi kuat dan kembali ke Mekah untuk menuntut
balas. Oleh karena itu, mereka mengutus Amr bin ‘Aș dan Abdullah bin
Rabi’ah kepada Najasyi agar mau menyerahkan kaum muslimin yang
berhijrah ke sana. Dengan mempersembahkan hadiah yang besar kepadaNajasyi, kedua utusan itu berkata, “Paduka Raja, mereka yang datang
ke negeri tuan ini adalah budak-budak kami yang tidak mempunyai
malu. Mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak
pula menganut agama Paduka; mereka membawa agama yang mereka
ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga Paduka pahami.
Kami diutus oleh pemimpin­pemimpin mereka, orang­orang tua mereka,
paman­paman mereka, dan keluarga­keluarga mereka supaya Paduka
sudi mengembalikan orang­orang itu kepada pemimpin­pemimpin kami.
Mereka lebih mengetahui betapa orang­orang itu mencemarkan dan
mencerca agama mereka.”
Najasyi kemudian memanggil kaum muslimin dan bertanya kepada
mereka, “Agama apa ini sampai membuat tuan­tuan meninggalkan
masyarakat tuan­tuan sendiri?” Kaum muslimin yang diwakili oleh Ja’far
bin Abi Talib menjawab, “Paduka Raja, masyarakat kami masyarakat yang
bodoh, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan berbagai
macam kejahatan, memutuskan hubungan dengan kerabat, tidak baik
dengan tetangga; yang kuat menindas yang lemah. Demikianlah keadaan
masyarakat kami hingga Allah Swt. mengutus seorang rasul dari kalangan
kami sendiri yang kami kenal asal usulnya, jujur, dapat dipercaya, dan
bersih. Ia mengajak kami hanya menyembah kepada Allah Swt. Yang Maha
Esa, meninggalkan batu­batu dan patung­patung yang selama ini kami dan
nenek moyang kami sembah. Ia melarang kami berdusta, menganjurkan
untuk berlaku jujur, menjalin hubungan kekerabatan, bersikap baik kepada
tetangga, dan menghentikan pertumpahan darah. Ia melarang kami
melakukan segala perbuatan jahat, menggunakan kata­kata dusta dan keji,
memakan harta anak yatim, dan mencemarkan nama baik perempuan
yang tak bersalah. Ia meminta kami menyembah Allah Swt. dan tidak
mempersekutukan­Nya. Jadi, yang kami sembah hanya Allah Swt. Yang
Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun. Segala
yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena
itulah kami dimusuhi, dipaksa meninggalkan agama kami. Karena mereka
memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, kami pun keluar menuju
negeri Paduka ini. Padukalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami
berada di dekat Paduka, dengan harapan di sini tidak ada penganiayaan”. Mendengar pernyataan yang demikian fasih dan santun, akhirnya
Raja Najasyi memberikan perlindungan kepada kaum muslimin hingga
kemudian mereka hidup untuk beberapa lama di negeri yang jauh dari tanah kelahirannya 

 2.      Hijrah ke Madinah

Peristiwa Ikrar Aqabah II ini diketahui oleh orang-orang Quraisy. Sejak
itu tekanan, intimidasi, dan siksaan terhadap kaum muslimin makin
meningkat. Kenyataaan ini mendorong Nabi segera memerintahkan
sahabat­sahabatnya untuk hijrah ke Yașrib. Dalam waktu dua bulan saja, hampir semua kaum muslimin, sekitar 150 orang telah berangkat ke Yașrib.
Hanya Abu bakar dan Ali yang masih menjaga dan membela Nabi di Mekah.
Akhirnya, Nabi pun hijrah setelah mendengar rencana Quraisy yang ingin
membunuhnya.
Nabi Muhammad saw. dengan ditemani oleh Abu Bakar berhijrah ke
Ya¡rib. Sesampai di Quba, 5 km dari Yașrib, Nabi beristirahat dan tinggal
di sana selama beberapa hari. Nabi menginap di rumah Umi Kalsum bin
Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah masjid. Inilah
masjid pertama yang dibangun pada masa Islam yang kemudian dikenal
dengan Masjid Quba. Tak lama kemudian, Ali datang menyusul setelah
menyelesaikan amanah yang diserahkan Nabi kepadanya pada saat
berangkat hijrah.
Ketika Nabi memasuki Yașrib, ia dielu­elukan oleh penduduk kota
itu dan menyambut kedatangannya dengan penuh kegembiraan. Sejak
itu, nama Ya¡rib diganti dengan Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering
pula disebut dengan Madinatun Munawwarah (kota yang bercahaya).
Dikatakan demikian karena memang dari sanalah sinar Islam memancar ke
seluruh penjuru dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How to Install VOSViewer

Asma'ul Husna : al-Karim, al-Mu'min, al-Wakil, al-Matin, al-Jami', al-Adl, dan al-Akhir

How to Install Mendeley : Mendeley Desktop, Web Plugin, and MS Word Plugin