Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam


A.  Pengertian Mu’amalah

Mu’amalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (per gaulan, perdata, dan sebagainya). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utangpiutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut.

1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.


B.   Macam-Macam Mu’amalah

Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang macam-macam mu’amalah, di
sini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1.  Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk
memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai
dengan firman Allah Swt. berikut ini: 

 
Artinya:”... dan Allah Swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya,
dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’an menyarankan agar
dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.

a. Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah
sebagai berikut.
1) Penjual dan pembelinya haruslah:
a) ballig,
b) berakal sehat,
c) atas kehendak sendiri.

2) Uang dan barangnya haruslah:
a) halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan
berhala, termasuk lemak bangkai tersebut;
b) bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama
dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
c) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang
yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam
laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu
mengandung tipu daya.
d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli melainkan
atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). 

3) Ijab Qobul
 Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”
Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli
itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

b. Khiyar 

1) Pengertian Khiyar
 Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau
membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyar karena
jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan
sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya,
sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang
diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam
khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar
dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan
memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan
sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

2) Macam-Macam Khiyar
a) Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di
tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar. Keduanya berhak
memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah
saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan
meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b) Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.
Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi
batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya
pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan,
status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si
penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)
c) Khiyar Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau  nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

c. Riba
1) Pengertian Riba
Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering
terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi
hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa,
“Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan,
orang yang menatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan
demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi,
terkena dosanya juga.

Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti
emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:

a) Sama timbangan ukurannya; atau
b) Dilakukan serah terima saat itu juga,
c) Tunai.

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya,
namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang
yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku
ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.

2) Macam-macam Riba

a) Riba Fadli, adalah pertukaran  barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin
emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b) Riba Qordi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus
memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami
si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar
Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya,
namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti
penjualan kacang atau ketela yang masih di dalam tanah.
d) Riba Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa
waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di
pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik.
Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

2.  Utang-piutang

a. Pengertian utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang
dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan
tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari
harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti
menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1) Yang berpiutang dan yang berutang,
2) A da harta atau barang,
3) Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang
menjawab, “a, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan
jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari keributan di kemudian hari, Allah Swt. menyarankan agar
kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena
kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran. 

 

Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah
tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu
menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S.
al-Baqarah/2: 28)

Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas
kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi
yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya
ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata,
”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan
yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda,
”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang
melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh.
Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw.
berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba” (HR. Baihaqi)

3. Sewa-menyewa

a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya imbalan yang harus
diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan
tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijarah dalam firman Allah Swt.:
Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut..” (Q.S. al-Baqarah/2: 2)
Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. at-Talaq/65:6 )

b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko
kerusakan rumah antara dipakai  sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang.
Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
6) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas  serta disepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan,  mingguan ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.


C.  Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
a.Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad
adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasarruf (pengelolaan
harta).
2) Objek akad yang disebut juga ma’qud alaihi mencakup pekerjaan atau modal.
Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal
dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah £igat. Adapun syarat sah akad
harus berupa ta£arruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.



D.  Perbankan
1. Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun
dana masyarakat dan disalurkan kembali dengan menggunakan sistem bunga.
Hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan.
Bank membantu masyarakat dalam bentuk penyimpanan maupun peminjam,
baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus
dibayarkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu seperti berikut.

a. Bank Konvensional
 Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana
untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan
usaha. Penghimpunan dana digunakan untuk mengembangkan usahanya
dengan menggunakan sistem bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syariah
 Bank Islam atau bank syariah ialah bank yang menjalankan operasinya
menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak
ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang
bersih dari riba, misalnya seperti berikut.
1) Mudharabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian
bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian.
Dalam sistem mudharabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusaha an.
2) Musyarakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di
mana masing-masing pihak sama-sama memiliki saham. Oleh karena
itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan
menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3) Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat
berharga. Amanah dari pihak nasabah tersebut dipelihara dengan baik
oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan
dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut
sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.
4) Qardhul hasan, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada
nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan
mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya
layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito
di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada
nasabahnya.
5) Murabahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan
suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk
menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan
tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya
sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak
diambilnya.

Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan
pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan
atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk
dijual lagi. Kemudian, bank meminta tambahan harga atas harga
pembeliannya tersebut. Namun demikian, pihak bank harus secara
jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E.  Asuransi Syari’ah

1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab
dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.
Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muamalah. Dasar hukum
asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk
asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya,
para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan
asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim
yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya
setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah
Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang
lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk
menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke
pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan
masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu.
Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau
banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat
ajaran tersebut

2. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Prinsip asuransi syari’ah tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem
asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang
membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia
pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi jual-beli’ atas
risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi
konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat
pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana
peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan
diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya
tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, karena satu
dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah
dibayarkan dapat diambil kembali. Apabila sebagian kecil dana atau preminya
sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan), maka tidak dapat diambil lagi.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat
dalam asuransi syari’ah. Manfaat yang di ambil di antaranya bisa menjadi
alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa
menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih
adil. Syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal sehingga semua
pemeluk agama dapat menggunakannya.
Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI//2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syari’ah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How to Install VOSViewer

Asma'ul Husna : al-Karim, al-Mu'min, al-Wakil, al-Matin, al-Jami', al-Adl, dan al-Akhir

How to Install Mendeley : Mendeley Desktop, Web Plugin, and MS Word Plugin